Lompat ke isi utama

Berita

Opini: Tantangan Penyelesaian Sengketa Pilkada

Oleh:
Fayakun, S.H.,M.Hum.,M.M
Ketua/Kordiv Sengketa Bawaslu Kabupaten Tulungagung

Proses Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada periode ini merupakan ujian berat bagi bangsa Indonesia, bagi Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah. Hal ini karena Pemungutan suara yang semestinya dilakukan pada 23 September 2020 ditunda akibat terjadi bencana non alam pandemi Covid-19 ditunda dan dijadwalkan kembali dan kepastianya setelah bencana nonalam berakhir sebagaimana Perpu 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.  Disatu sisi Pasca MK putuskan Uji Materi UU Pilkada (Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019) adalah tantangan Bawaslu Kabupaten/Kota menerapkan aturan penyelesaian sengketa Pilkada (pemilihan Bupati/Walikota) menggunakan UU Pilkada Pasca MK putuskan Uji Materi UU Pilkada (Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota.

Mengenai tata cara penyelesaian sengketa Pilkada, setidaknya ada 18 ( delapan belas) identifikasi perubahan kemajuan lebih sempurna Perbawaslu  Nomor 2 Tahun 2020 mengenai tata cara penyelesain sengketa pada Pemilihan yang dikaji oleh penulis jika dibandingkan dengan perbawaslu sebelumnya (Perbawaslu No. 15 tahun 2017). Hal ini karena menyesuaikan perkembangan hukum ;

Pertama menurut Perbawaslu Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat penambahan jumlah Pasal yaitu 76 Pasal. Sedangkan di Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, terdapat 60 Pasal, Kedua, dalam Konsideran Menimbang Penerbitan Perbawaslu didasarkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 menyesuaikan dengan UU No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilu serta melaksanakan ketentuan Pasal 144 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah.

Ketiga, Terdapat perubahan nama lembaga Pengawas Tingkat Kabupaten/Kota yaitu dari nama Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota (Panwaslu) menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten/Kota. Keempat, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat uraian pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yaitu Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa dan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan. Kelima, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, Sengketa Pemilihan antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan dilakukan melalui tahapan menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Sedangkan sengketa Pemilihan antar peserta Pemilihan, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memutus sengketa Pemilihan. Keenam, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, Keputusan KPU Provinsi atau Keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menjadi objek sengketa Pemilihan, dikecualikan untuk beberapa keputusan sebagaimana yang terurai pada Pasal 5 Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020. Terdapat tambahan Pasal terkait objek sengketa Pemilihan yang dikecualikan pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, yang tidak disebutkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017.

Ketujuh, Pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, pengajuan permohonan penyelesaian sengketa secara tidak langsung tidak menyebut aplikasi Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS) untuk pengajuan permohonan penyelesaian sengketa, sedangkan di Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 jelas disebutkan terkait SIPS. Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan secara langsung diajukan melalui loket penerimaan permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan di Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota dan permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan secara tidak langsung diajukan melalui laman SIPS. Kedelapan, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, dalam pengajuan permohonan penyelesaian sengketa secara langsung melalui rapat pleno di setiap tahapan verifikasi dokumen permohonan. Pada Perbawaslu Nomot 15 Tahun 2017, pengajuan permohonan penyelesaian sengketa secara langsung tidak melalui rapat pleno di setiap tahapan verifikasi, hanya diberi waktu tertentu untuk melengkapi berkas.

Kesembilan, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan melalui musyawarah dan mufakat dinyatakan diterima pada saat rapat pleno Bawaslu Provinsi atau rapat pleno Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya menyatakan dokumen permohonan penyelesaian sengketa diregister. Pada ayat 3 terdapat uraian musyawarah dan mufakat dilaksanakan berdasarkan prinsip cepat dan tanpa biaya. Pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan melalui musyawarah dan mufakat dinyatakan diterima ketika permohonan sengketa telah diregister oleh petugas penerima permohonan sengketa, tanpa melalui rapat pleno dan juga tidak ada pasal atau ayat yang menerangkan bahwa musyawarah dan mufakat dilaksanakan berdasarkan prinsip cepat dan tanpa biaya. Kesepuluh, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat uraian Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota mempertemukan pemohon dan termohon dalam musyawarah secara tertutup, sedangkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 tidak terdapat pasal dengan uraian tersebut.

Kesebelas, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 ayat 2, dalam musyawarah terdapat tahapan penandatanganan berita acara musyawarah; dan penuangan berita acara musyawarah dalam putusan. Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 ayat 3, musyawarah dilakukan paling lama 2 (dua) hari. Pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, tidak terdapat tahapan penandatanganan berita acara musyawarah dan penuangan berita acara musyawarah dalam putusan, tetapi langsung penetapan putusan penyelesaian sengketa. Selain itu, juga tidak terdapat uraian musyawarah dilakukan paling lama 2 (dua) hari. Keduabelas, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, musyawarah dipimpin oleh paling sedikit 1 (satu) orang Anggota Bawaslu Provinsi atau Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dibantu oleh 2 (dua) orang pegawai Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai sekretaris dan notulen. Pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, musyawarah dipimpin oleh 3 (tiga) orang Anggota Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota dan dibantu oelh paling sedikit 4 (empat) orang ASN di Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota sebagai sekretaris, asisten pimpinan musyawarah, notulen dan perisalah.

Ketigabelas, Bab III Penyelesaian Sengketa Pemilihan, Pasal 32 ayat 3 Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, dalam hal termohon tidak hadir 2 (dua) kali secara berturut-turut setelah dipanggil secara patut dalam pelaksanaan musyawarah, pimpinan musyawarah memutuskan permohonan sengketa Pemilihan tidak mencapai kesepakatan; dan melanjutkan ke tahapan musyawarah secara terbuka. Terdapat perbedaan jumlah batas pemanggilan hingga diputuskan tidak mencapai kesepakatan serta terdapat uraian melanjutkan ke tahapan musyawarah secara terbuka jika tidak mencapai kesepakatan pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020. Pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017, dalam hal termohon sudah diundang dan tidak hadir 3 (tiga) kali berturut-turut, musyawarah dianggap tidak mencapai mufakat.

Keempatbelas, Bab III Penyelesaian Sengketa Pemilihan, Pasal 33-54 Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat pasal-pasal yang menjelaskan mengenai tahapan pelaksanaan musyawarah terbuka, sedangkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 tidak dijelaskan. Kelima belas, Bab III Penyelesaian Sengketa Pemilihan, Pasal 55. Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat pasal yang mengatur mengenai pemindahan lokasi musyawarah dalam hal terdapat kejadian atau keadaan tertentu sehingga mengakibatkan tahapan musyawarah tidak dapat dilaksanakan di kantor Bawaslu Provinsi atau kantor Bawaslu Kabupaten/Kota, sedangkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 tidak dijelaskan mengenai hal tersebut.  Keenam belas, Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat ayat yang mengatur bahwa gugurnya permohonan penyelesaian sengketa Pemilihan diputuskan melalui rapat pleno dan dituangkan dalam putusan Bawaslu Provinsi atau putusan Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan Formulir Model PSP-17. Sedangkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 tidak dijelaskan.

Ketujuhbelas, Bab III Penyelesaian Sengketa Pemilihan, Pasal 58 Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat tambahan pasal yang menyebutkan bahwa putusan merupakan hasil musyawarah yang diputuskan melalui rapat pleno. Hasil keputusan rapat pleno dituangkan dalam putusan penyelesaian sengketa Pemilihan sesuai dengan Formulir Model PSP-18. Sedangkan pada Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 tidak dijelaskan.

Kedelapanbelas, Bab III Penyelesaian Sengketa Pemilihan, Pasal 59 Pada Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terdapat uraian mengenai kepala putusan yang salah satunya harus tertera kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa",  sehingga mempunyai legitimasi kuat dan nilai eksekutorial. Nama "keadilan" mengandung arti kepada keadilanlah putusan dipertanggung jawabkan. Jika ‘Atas Nama Tuhan’, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban majelis pertama-tama ditujukan. Menurut UU kekuasaan kehakiman (UU No. 48 tahun 2009) asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman  peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", merupakan syarat formal sehingga apabila ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ tidak dicantumkan akibatnya putusan batal demi hukum.

Pilkada serentak akan diikuti sebanyak 270 daerah, dengan rincian 9 untuk Pemilihan Gubernur, yang 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota. Di jawa timur sebanyak 19 Kabupaten/Kota akan menggelar pemilihan Bupati/Walikota serentak masing-masing adalah : Kabupaten Sumenep, Trenggalek, Banyuwangi, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Ngawi, Kabupaten Mojokerto, , Tuban, Lamongan, Ponorogo, Pacitan, Sidoarjo, Jember, Situbondo, Gresik, dan Kabupaten Kediri. Selanjutnya Kota Surabaya, Kota Blitar dan Kota Pasuruan. Atas pelaksanaan pemilihan serentak tersebut diatas, dimungkinkan terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas kemudian menuntut haknya, baik dalam proses tahapan Pemilihan maupun terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum yang muaranya adalah apa yang dinamakan sengketa pemilihan. Jika mengacu UU Pilkada menurut penulis sengketa pemilihan dari segi waktu (tempus) dibagi menjadi 3 (tiga) bagian ; yang Pertama, disebut sengketa proses pemilihan yaitu sengketa yang terjadi di dalam tahapan sebelum penetapan hasil perolehan suara calon Bupati/Walikota hal ini diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144 UU No. 1 tahun 2015 Jo Pasal 142 UU No. 8 tahun 2015, Jo Pasal 144 UU No. 10 tahun 2016 yang diselesaikan melalui jalur Bawaslu. Mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan Bawaslu melalui beberapa tahapan.

Yang Kedua, Sengketa tata usaha negara Pemilihan calon Bupati/walikota, yaitu merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Kabupaten/Kota diatur di dalam Pasal 153, Pasal 154 UU No. 10 tahun 2016, keberatan diselesaikan melalui jalur Bawaslu terlebih dahulu, yaitu Peserta Pemilihan mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.

Para peserta calon kepala daerah perlu memahami, bahwa Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Kabupaten/Kota telah dilakukan, artinya Peserta Pemilihan yang akan mengajukan gugatan ke PTTUN terlebih dahulu mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan ditetapkan, sebab jika pengajuan gugatan ke PTTUN tidak dilalui terlebih dahulu yaitu mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Kabupaten/Kota, maka dianggap kurang lengkap atau belum melakukan upaya admnistrasi. Terhadap hal tersebut diberi kesempatan untuk diperbaiki, namun apabila tidak diperbaiki dan tidak disempurnakan dalam waktu yang ditentukan, oleh PTTUN maka gugatan tidak dapat diterima dan tidak ada upaya hukum lagi. Namun terhadap gugatan yang dinyatakan lengkap, PTTUN memeriksa dan memutus gugatan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak gugatan dinyatakan lengkap.  Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali. (Pasal 154 UU No. 10 tahun 2016).

Yang ketiga, sengketa hasil pemilihan Bupati/Walikota, yaitu sengketa yang terjadi setelah penghitungan perolehan suara calon mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan calon oleh KPU Kabupaten/Kota, hal ini diatur di dalam Pasal 158 UU No. 1 tahun 2015 Jo Pasal 157, Pasal 158 UU No. 8 tahun 2015, Jo Pasal 156, Pasal 157 UU No. 10 tahun 2016. Sengketa perselisihan hasil Pemilihan Bupati/Walikota merupakan perselisihan antara KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.  Dalam ketentuan UU Pilkada Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan yang dapat diperkarakan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih. Adapun Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan selama ini diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Persoalanya hingga kini belum dibentuknya badan peradilan khusus yang menangani  perselisihan penetapan perolehan suara.

Ketidakpuasan masing-masing calon yang berujung pada sengketa tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam pemahaman peserta pemilihan yang merasa hak-haknya dicurangi, perbedaan penafsiran, politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, serta manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan, maupun setelah pemilihan berlangsung.

Dalam faktanya diberbagai tahapan dalam pemilihan kepala daerah seringkali tercipta suatu konflik, kasus-kasus, pelanggaran dan adanya sengketa penyelenggaran pemilihan yang tidak kalah seru dengan sengketa proses Pemilihan Umum. Hal ini karena Pilkada merupakan momen perebutan kekuasaan yang sah dalam Pemerintahan di daerah (eksekutif daerah) menjadi perhatian publik di daerah. Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha menyebut pemilihan kepala daerah serentak 2020 adalah ajang untuk memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024.

Di dalam Pilkada didalamnya ada Peserta Pemilihan yaitu calon Bupati dan Calon Walikota yang  diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, mapun jalur perseorangan (independen) yang mendaftar ataupun didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota setempat. Selain itu ada penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota yaitu Bawaslu, KPU, DKPP, Masyarakat (Pemilih dan Stakeholders). Unsur-unsur tersebut diatas sistem yang saling terkait yang tentunya terjadi ketidak tertiban, baik dalam segi syarat maupun prosedur di dalam menjalankan aturan main didalam suatu tahapan, jadwal, program sebagaimana yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Mahkamah Konstitusi sudah menjatuhkan putusan mengenai kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota pada Nomor 48/PUU-XVII/2019 dalam perkara Pengujian Materi UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No, 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap hal-hal tersebut diatas menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) kompenen penting dalam putusan putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019. Pertama, adalah frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam UU Pilkada yang selama ini menjadi dasar hukum Penyelenggara Pemilu harus dimaknai Bawaslu Kabupten/kota sebagaimana UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Kedua, adalah frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada) harus dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ketiga, mengenai pembentukan Panwas Kabupaten/Kota  yang sebelumnya dibentuk dan ditetapkan oleh  Bawaslu Provinsi, pengisiannya merujuk sesuai dengan ketentuan UU 7/2017 tentang pemilu yaitu proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu. Sehingga dengan putusan MK tersebut berimplikasi pada pertanyaan, bagaimana terkait kewenangan Bawaslu Kabupaten/kota pasca Putusan MK tersebut dalam penyelesaian sengketa proses Pemilihan Bupati/Walikota? Dibandingkan sebelumnya kelembagaan “Panwaslu Kabupaten/Kota” yang anggotanya hanya 3 orang, dengan putusan MK menjadi bernama Bawaslu Kabupaten/Kota anggotanya 3 orang hingga 5 orang sebagaimana UU No. 7 Tahun 2017 ditambah kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota yang permanen tentunya menjadi sangat ligitimasi dan kuat dalam menyelesaikan sengketa proses Pemilihan. Apalagi Bawaslu Kabupaten/Kota paling tidak sudah punya pengalaman dalam menyelesaian permohonan sengketa proses pemilu pada Pemilu 2019.

Dalam kajian penulis setidaknya ada 2 (dua) poin penting yang menjadi pegangan Bawaslu Kabupaten/Kota mengenai pengawasan dibidang sengketa penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pilkada dalam Pasal 30 dan Pasal 144, dimana kedua pasal tersebut juga masuk dalam putusan MK di diktum 2 putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 yaitu ; Pertama, menurut Tugas dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota Pasal 30 huruf C UU No. 1 Tahun 2015 setelah ada putusan MK yang berkekuatan hukum tetap menjadi dimaknai tugas dan wewenang “Bawaslu Kabupaten/Kota” yaitu menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilihan yang tidak mengandung unsur tindak pidana. Memang ada perbedaan dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dengan UU Pilkada mengenai sengketa, jika mengacu UU Pemilu sengketa berasal dari Permohonan Peserta pemilu, namun jika mengacu UU Pilkada sengketa berasal dari temuan Bawaslu Kabupaten/Kota dan laporan sengketa. Maka setelah ada putusan MK Bawaslu Kabupaten/Kota dapat menjadi penemu sengketa dan menerima laporan sengketa. Kedua, menurut Pasal 144 ayat (1) ( UU No. 1 tahun 2015) mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan yang sebelum ada putusan MK berbunyi “Keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota  mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat” maka setelah putusan MK harus dimaknai menjadi putusan Bawaslu Kabupaten/Kota merupakan keputusan terakhir dan mengikat, artinya mengikat pihak-pihak yang melakukan persengketaan.

Maka sudah sangat tepat  setelah adanya putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 diterbitkan Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota walau UU tentang Pilkada belum dirubah.

Beberapa tantangan Bawaslu Kabupaten/Kota menghadapi Pilkada serentak tahun 2020 pasca putusan MK uji materi UU No. 10 tahun 2016 mengenai kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota. Pertama, perbedaan penafsiran Pasal multi tafsir atau norma yang, sebagaimana kita ketahui objek sengketa proses Pemilihan dalam Pilkada adalah meliputi : perbedaan penafsiran atau suatu ketidak jelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;  kemudian keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar peserta Pemilihan; selain itu obyek sengketa juga bisa berupa keputusan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Hal ini sangat berpotensi menjadi sengketa pemilihan. Harus diakui memang dalam menyelesaian sengketa perkara perbedaan penafsiran memang tidak mudah, dibutuhkan kreatifitas membaca peraturan perundang-undangan sehubungan dengan pemilihan misalnya UU, Perbawaslu, PKPU, Juknis dan juklak, serta pendapat-pendapat ahli.

Selain itu obyek kesengketaan adanya perbedaan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dalam proses jadwal, program, tahapan, yang dijalani oleh peserta pemilu. Misalnya, dalam tahapan pencalonan yang harus dikumpulkan KTP, surat pernyataan dukungan, dengan jumlah prosentase sudah ditentukan dalam UU. Penafsiran terhadap ketentuan (UU No. 10 Tahun 2016 atau PKPU tentang pencalonan) dapat terjadi antara Peserta Pemilu (Calon Kada dari Parpol atau Perseorangan), berbeda pemahamannya dengan penafsiran KPU. Penafsiran yang berbeda secara diametral, maka potensi dibawa ke ranah persengketaan Bawaslu Kabupaten/Kota. Skema tersebut, persengketaan antara Peserta Pilkada dengan Penyelenggara Pemilu, kewenangan absolut yang dapat menyelesaikan adalah Bawaslu Kabupaten/Kota, dengan model musyawarahnya.

Kedua, terkait pelayanan yang diberikan oleh KPU, apabila dalam pelayanan oleh dan dari KPU Kabupaten/Kota mengakibatkan posisi peserta pemilihan tidak mendapatkan rasa keadilan. Hasil dari KPU berupa surat keputusan (bescikking)/SK atau berita acara, serta perbedaan penafsiran yang tidak sama (berbeda-beda). Itulah, yang dapat menjadi obyek untuk disengketakan. Untuk itu peran penting bawaslu Kabupaten/Kota dalam tahapan, jadwal, program Pilkada serentak 2020, sang mediator penyelenggara Pemilihan harus dapat menerawang terhadap potensi-potensi munculnya sengketa. Dalam tahapan pencalonan perseorangan dapat terjadi sengketa ketika ada calon mendaftar ke KPU kemudian ditolak / tidak diterima oleh KPU. Kemungkinan, apakah tidak memenuhi syarat administratif yang mengakibatkan tidak diterimanya pencalonan. Kondisi itulah, menyebabkan rentan sengketa proses pemilihan di Pilkada, yang terjadi antara Peserta Pemilihan (Calon Kada) dengan Penyelenggara Pemilihan (KPU).

Ketiga, dapat juga sengketa terjadi antara peserta pemilihan dengan peserta pemilihan. Obyek yang disengketakan adalah peselisihan dalam pemasangan alat peraga kampanye (APK), bahan kampanye (BK), rebutan jargon misalnya di Tulungagung calon satu memakai jargon guyub rukun lantas jargon tersebut juga dipakai oleh tim calon lain sehingga dianggap merugikan, pakaian seragam tim sukses ada yang menyerupai dari tim sukes calon lain sehingga dianggap merugikan, dimana kedua belah pihak (peserta pemilihan dengan peserta pemilihan) merasa dirugikan. Untuk APK misalnya, ditutupi pemasanganya, warna menyerupai, saling merasa punya hak untuk memasang ditempat yang tersedia, maupun akibat dari pengaturan zona pemasangan APK oleh KPU, kemudian dalam praktek (pemasangan) kedua peserta pemilu tersebut terjadi konflik. Itulah, skema persengketaan antara peserta pemilihan dengan peserta pemilihan. Dapat terjadi pula, ketika dalam kampanye disuatu lokasi terjadi berbarengan yang dapat mengakibatkan bentrok dan konflik, hal itu juga sebagai obyek sengketa. Tentu hal ini adalah tantangan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam penyelesaian sengketa proses Pemilihan.

Seperti yang kita ketahui di jawa timur ada 19 Kabupaten/kota melaksanakan Pemilihan secara serentak. Bagaimana seandainya ada sengketa yang melibatkan 2 Kabupaten yang berbeda, misalnya Pasangan calon Bupati dari Kabupaten A melaporkan/mempersengketakan Pasangan calon Bupati dari Kabupaten  B, karena calon Bupati dari Kabupaten B dianggap telah meniru jargon dan seragamnya tim pemenangan calon Bupati dari Kabupaten A? Kemudian sengketa tersebut dibawa ke Bawaslu Kabupaten/Kota minta diselesaian. Walaupun selama ini belum terjadi namun hal-hal seperti ini bukan tidak mungkin ada di Pilkada 2020 yaitu sengketa yang melibatkan wilayah Kabupaten yang berbeda, adalah tantangan penyelesaian sengketa antar peserta Pemilihan bagi Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada serentak.

Sebagaimana Pasal 143 UU No. 1 tahun 2015 dalam penyelesaian sengketa Proses Pemilihan, Bawaslu Kabupaten/Kota mengutamakan untuk melakukan penyelesaian sengketa mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat artinya mendorong agar terjadi kesepakatan dengan mengutamakan prinsip-prinsip untuk dapat memediasi mengutamakan mencapai kesepakatan.

Sebagaimana amanah UU Pilkada bahwa Penyelesaian sengketa antar peserta Pemilihan, maupun Peserta dengan penyelenggara (KPU) mengutakan untuk mencapai kesepakatan. Biasanya dilakukan secara informal yang membutuhkan peran pihak ke tiga yang netral (Bawaslu) untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang sedang mengalami sengketa. Dengan kata lain, prinsip mediasi adalah salah satu bentuk negoisasi antara dua individu (atau kelompok) yang saling bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromi. Maka dalam penyelesaian sengketa pemilihan agar terjadi kesepakatan tidak terlepas dari peran Bawaslu Kabupaten/Kota di dalamnya. Bawaslu Kabupaten/Kota sangat berperan selama berlangsungnya proses penyelesesaian sengketa mediasi tersebut.

Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan

Sebagaimana ketentuan Pasal 156 UU No. 10 tahun 2016, Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.  Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.

Pilkada serentak kali ini merupakan Pilkada pertama sejak kelembagaan adhoc Pengawas Pemilu di Kabupaten (Panwaslu Kabupaten) menjadi permanen Bawaslu Kabupaten yang dikukuhkan tanggal 15 Agustus 2018, tentu merupakan tantangan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan. Pelaksanaan pilkada serentak tersebut, pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Tantangan Selain syarat formal sebagaimana tersebut di atas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU setempat, juga ada syarat selisih perolehan suara antara pemohon dan pasangan lainnya paling banyak 0,5 persen sampai 2 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi tantangan sendiri bagi pemohon yang akan memilih jalur sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.

 Berdasarkan Pasal 158 UU No 8/2015 memberikan syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi konsisten selama ini menggunakan Pasal 158 UU No 8/2015 sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bukan merupakan rezim pemilu. Mahkamah Konstitusi memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya dalam putusan-putusan MK terdahulu, perselisihan hasil pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, tetapi juga mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Kedua, telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU No 8/2015 yang diajukan Para Pemohon. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 158 adalah konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU No 8/2015 disebabkan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah tidak semua pembatasan secara serta merta bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pembatasan tersebut untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan dan ketertiban umum maka pembatasan demikian dapat dibenarkan menurut konstitusi.

Ketiga, demi kepastian hukum, Pasal 158 UU Pilkada harus diterapkan dalam Pilkada serentak kali ini. Namun mari kita lihat hasil Pilkada serentak apakah banyak peluang atau tidak para calon mengajukan gugatan perselisihan hasil di MK nanti?  Tentu tergantung persentase selisih suara, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon. Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing), obyek permohonan, dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Akhirnya walaupun Pilkada saat ini belum ada kepastian mengenai tanggal bulan dan tahun akibat pandemi virus corona, penulis dalam kesempatan ini berharap kepada pemerintahan daerah penyelenggara Pilkada, kepada masyarakat, kepada Penyelenggara (KPU dan Bawaslu), kepada Parpol, kepada tim pemenangan, Pasangan Calon, mari kita jalankan pesta demokrasi sesuai dengan ketentuan dan kita sambut Pilkada kali ini dengan riang gembira, Aman, Damai, dan Demokratis. Dan kepada Mahkamah Konstitusi tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya. Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi pilkada 2020 diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Peran penting KPU Kabupaten/Kota dalam memberikan pelayanan yang adil adalah sarana meminimalisir sengketa Pilkada. Sebanyak 19 Kabupaten/Kota akan melaksanakan Pilkada serentak di jawa timur, tentu menjadi tantangan Bawaslu Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa Pemilihan secara adil pasca putusan MK a quo mengenai Uji Materi kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU Pilkada.

Penulis adalah Ketua Bawaslu Kabupaten Tulungagung

Tag
Tak Berkategori